Share This Article
Pandemi virus COVID-19 memasuki babak baru. Terakhir, virus tersebut bermutasi menjadi varian E484K dan menimbulkan banyak kasus baru di Tokyo, Jepang.
Sama halnya dengan penyebaran virus corona di awal masa pandemi, mutasi virus corona yang dinamakan ‘Eek’ ini menyebar dengan cepat ke berbagai belahan dunia.
Terbaru, bahkan Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa virus tersebut telah terdeteksi di Jakarta. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diketahui seputar mutasi virus corona E484K tersebut.
Baca juga: 3 Alasan Lansia Tidak Diprioritaskan Mendapat Vaksin COVID-19
1. Mutasi virus corona
Dilansir dari The Conversation, virus corona bermutasi perlahan dan mengumpulkan sekitar dua mutasi satu huruf per bulan dalam genomnya. Tingkat perubahan ini sekitar setengah dari kecepatan mutasi virus flu biasa.
Pada umumnya, semua mutasi yang ditemukan dalam varian virus corona harus dipantau dengan seksama. Tapi secara khusus para ilmuwan sangat tertarik pada mutasi yang terjadi pada protein lonjakan virus, khususnya bagian receptor-binding domain (RBD).
Bagian virus tersebut adalah yang menempel pada sel manusia dan memulai infeksi. Jadi mutasi pada RBD dapat membantu virus terikat lebih erat ke sel tubuh, dan menjadikannya lebih menular.
2. Mengenal virus Corona E484K
Kekebalan yang dikembangkan terhadap virus COVID-19 baik setelah vaksinasi atau infeksi, sebagian besar disebabkan oleh antibodi yang mengikat RBD.
Namun jika mutasi virus terjadi di wilayah RBD tersebut, maka kemungkinan besar virus akan menghindari kekebalan tubuh yang telah terbangun sebelumnya.
Inilah alasan mengapa hal ini disebut “mutasi lolos” dan E484K adalah salah satu mutasi tersebut. Nama E484K berasal dari posisi dalam rangkaian RNA (kode genetik virus) yang terjadi (484).
Huruf E mengacu pada asam amino yang awalnya di lokasi ini (asam glutamat), dan K mengacu pada asam amino yang sekarang ada di lokasi itu (lisin).
3. Mengapa virus ‘Eek’ patut diwaspadai?
Penelitian menunjukkan bahwa mutasi E484K mampu lolos dari kekebalan tubuh yang telah terbentuk baik setelah infeksi maupun vaksinasi.
Dalam sebuah penelitian di Seattle, yang merupakan pracetak (artinya belum ditinjau oleh rekan sejawat). Para ilmuwan memeriksa kemampuan antibodi dari 8 orang yang telah pulih dari COVID-19 untuk menghentikan bentuk mutasi virus yang menginfeksi sel.
Dalam sampel yang diperoleh dari tiga orang, kemampuan antibodi untuk menetralkan virus berkurang hingga 90 persen saat disajikan dengan bentuk mutasi E484K.
Penelitian ini hanya menggunakan sedikit sampel yang dikumpulkan dari orang yang terinfeksi secara alami, bukan yang divaksinasi. Sehingga hasilnya mungkin berbeda, karena kekebalan yang diperoleh melalui vaksinasi secara umum lebih kuat.
Baca juga: Fakta di Balik Hoax Vaksin Sinovac Bisa Memperbesar Alat Kelamin
4. Awal penyebaran mutasi virus ‘Eek’
Mutasi E484K pertama kali muncul di Kota Manaus, Brasil. Varian tersebut juga terdeteksi pada empat pelancong yang terbang dari Brasil Utara ke Jepang pada 2 Januari 2021.
Virus ini kemudian menimbulkan kasus infeksi yang cukup banyak di Tokyo. Di mana sekitar 70 persen pasien virus corona yang dites di rumah sakit Tokyo bulan Maret lalu teridentifikasi membawa mutasi E484K.
Dilansir dari SCMP, para pasien yang terinfeksi tersebut diketahui tidak bepergian ke luar negeri atau melaporkan kontak dengan orang yang mengalaminya.
5. Mutasi virus COVID-19 E484K di Indonesia
Dilansir dari CNN Indonesia, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa kasus mutasi corona ‘Eek’ didapati di DKI Jakarta berdasarkan hasil tes spesimen pada Februari 2021.
Nadia mengatakan saat ini individu yang terkonfirmasi positif terpapar mutasi virus dari Jepang itu sudah sehat dan terus dipantau Kementerian Kesehatan.
Adapun terkait sumber infeksi, disebutkan bahwa individu yang terpapar tersebut tidak habis bepergian ke luar negeri, dan penularan kasus terjadi secara lokal.
Meski begitu, pemerintah telah menginstruksikan untuk terus melakukan pemantauan terhadap perserbaran mutasi virus tersebut, meski hingga saat ini belum ada kejadian yang sama terjadi di wilayah lain.
6. Efek vaksin terhadap mutasi virus corona ‘Eek’
Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh para ilmuwan di New York, mengamati antibodi dari 15 orang yang divaksinasi dengan salah satu dari dua vaksin berbasis mRNA yang disetujui (yang diproduksi oleh Pfizer / BioNTech dan Moderna).
Hasilnya menunjukkan bahwa efektivitas vaksin untuk melindungi terhadap varian yang membawa mutasi E484K sedikit berkurang untuk beberapa orang. Namun demikian, itu masih dalam tingkat yang dapat diterima.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!