Share This Article
Pandemi COVID-19 belum berakhir, perjalanan para ahli medis untuk berjibaku dengan serangan virus corona masih terus dilakukan.
Selain kabar mengenai vaksin, kini muncul sebuah studi yang menyebut bahwa obat kemoterapi jenis tertentu bisa digunakan untuk mengobati pasien COVID-19.
Lalu bagaimana cara kerja obat kanker tersebut dalam menghadapi virus corona? Adakah efek samping yang ditimbulkannya? Berikut penjelasannya!
Kemoterapi mampu mengobati pasien COVID-19
Sebuah studi yang dipublikasikan melalui jurnal PLOS Computational Biology menemukan bahwa obat kemoterapi untuk pasien kanker berpotensi membantu pemulihan pasien COVID-19.
Penelitian ini dipimpin oleh dokter Haiping Zhang dari Shenzhen Institutes of Advanced Technology. Para peneliti menyaring 1.906 obat untuk mengetahui kemampuannya dalam menghambat replikasi virus corona dengan menargetkan protein virus RNA-dependent RNA polymerase (RdRP).
Para peneliti mengidentifikasi setidaknya terdapat empat obat yang menjanjikan yakni Pralatrexate, Azithromycin, Sofosbuvir dan Amoxicillin. Hasil identifikasi ini kemudian diuji terhadap virus SARS-CoV-2 dalam percobaan laboratorium.
Dari 4 obat tersebut, dua di antaranya yakni pralatrexate dan azithromycin, berhasil menghambat replikasi virus.
Hasil akhir penelitian tersebut menemukan bahwa obat pralatrexate bekerja lebih kuat menghambat replikasi virus ketimbang obat yang saat ini digunakan untuk mengobati beberapa pasien COVID-19 yakni remdesivir.
Baca Juga : Obat Asam Urat Colchicine Diteliti untuk Mengobati COVID-19, Bagaimana Faktanya?
Mengenal obat pralatrexate
Pralatrexate adalah obat kemoterapi yang dikembangkan untuk membunuh limfoma, tumor yang berasal dari kelenjar.
Obat pralatrexate, dijual dengan nama merek Folotyn, termasuk dalam kelompok obat yang disebut antifolate.
Pralatrexate ini digunakan untuk merawat pasien berusia 18 tahun atau lebih dengan limfoma agresif setelah perawatan sebelumnya gagal. Obat ini dapat memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel kanker.
Cara kerja pralatrexate untuk menyembuhkan COVID-19
Ketika seseorang terinfeksi SARS-CoV-2 (virus yang menyebabkan COVID-19), sebuah protein berbentuk spike menempel pada sel tubuh dan kemudian memasukkan materi genetiknya.
Pralatrexate bertindak sebagai reseptor, menjebak virus saat ia terdegradasi tanpa membahayakan.
Percobaan pada sel manusia menemukan obat ini bekerja dengan menemukan protein virus yang dikenal sebagai RdRP dan lebih efektif daripada remdesivir.
Adakah efek samping penggunaan obat ini pada pasien COVID-19?
Penemuan ini menunjukkan pralatrexate berpotensi digunakan untuk mengobati COVID-19. Namun, obat kemoterapi ini dapat menyebabkan efek samping yang signifikan.
Dokter Zhang menyebut, kita harus menyadari bahwa itu tidak menjamin kemungkinan penggunaan obat ini untuk melawan COVID-19.
Hidung merupakan pintu masuk utama virus corona. Menggunakan pralatrexate yang dilarutkan untuk dipakai sebagai nasal spray sebenarnya berpotensi memberikan harapan dalam pencegahan virus corona. Namun, harus ada cara bagaimana untuk meminimalisir efek sampingnya.
Kini para peneliti mengembangkan metode komputasi tambahan untuk menghasilkan struktur molekul baru yang dapat dikembangkan menjadi obat baru untuk mengobati COVID-19.
Baca Juga : Mengenal Camostat Mesylate: Calon Obat Baru untuk Redakan Gejala COVID-19
Obat kanker lainnya juga pernah digunakan untuk rawat COVID-19
Selain penelitian di atas, sebelumnya pernah ada penelitian dari National Institute of Health terkait penggunaan obat kanker untuk merawat pasien COVID-19.
Tim peneliti dari National Cancer Institute (NCI) dan National Institute of Allergy and Infection Diseases (NIAID) menguji penggunaan obat BTK inhibitor yang disebut acalabrutinib untuk mengobati COVID-19.
Pasien COVID-19 dalam keadaan parah rentan mengalami keadaan hiperinflamasi yang berbahaya yang dikenal sebagai badai sitokin. Sitokin bertindak sebagai pembawa pesan kimiawi yang membantu merangsang dan mengarahkan respons kekebalan.
Bagaimana cara kerjanya?
Uji klinis ini melibatkan 19 pasien positif COVID-19 yang memerlukan rawat inap dan memiliki kadar oksigen darah rendah serta mengalami inflamasi atau peradangan.
Dari jumlah tersebut, 11 pasien telah menerima oksigen tambahan selama rata-rata dua hari, dan delapan lainnya telah menggunakan ventilator selama median 1,5 hari.
Dalam satu hingga tiga hari setelah menerima acalabrutinib, mayoritas pasien yang menerima oksigen tambahan mengalami penurunan peradangan yang substansial, dan pernapasan mereka membaik.
Delapan dari 11 pasien ini bisa mendapatkan oksigen tambahan dan keluar dari rumah sakit. Empat dari delapan pasien yang menggunakan ventilator bisa lepas, dan dua akhirnya dipulangkan. Sementara, dua dari pasien dalam kelompok ini meninggal.
Baca Juga : Alasan Anak-anak Tak Masuk Daftar Prioritas Penerima Vaksin COVID-19
Hasil uji klinis
Sampel darah dari pasien menunjukkan bahwa tingkat interleukin-6 (IL-6), sitokin utama yang terkait dengan hiperinflamasi pada pasien COVID-19 menurun setelah pengobatan dengan acalabrutinib.
Jumlah limfosit juga meningkat pesat pada kebanyakan pasien. Jumlah limfosit yang rendah telah dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk untuk pasien dengan COVID-19 yang parah.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!