Share This Article
Pandemi COVID-19 telah merebak di berbagai negara sejak awal tahun 2020. Penyakit menular ini juga diketahui telah membuat lebih dari 1 juta nyawa melayang. Memasuki akhir tahun 2020, Richard Horton, pemimpin redaksi jurnal ilmiah The Lancet mengklaim bahwa saat ini COVID-19 bukan lagi kondisi pandemi, tapi sindemi.
Lantas apa itu sindemi? Bagaimana pula perbedaan dari berbagai istilah terkait seperti endemi, pandemi dan sindemi? Begini penjelasannya.
Perubahan status COVID-19 menjadi ‘sindemi’
Richard Horton mengeluarkan klaim tersebut pada 26 Oktober 2020. Melalui komentarnya, ia menyebutkan bahwa saat ini penyebaran penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 ini, sudah memasuki fase yang lebih buruk dari pandemi, yaitu sindemi secara global.
Sindemi merupakan akronim dari sinergi dan epidemi. Sindemi ditandai dengan kesinergisan antara faktor sosioekologi dan biologi yang merugikan kesehatan.
Dalam konteks COVID-19, kedua faktor tersebut sangat terlihat jelas. Di tengah badai COVID-19, sebagian masyarakat harus berhadapan dengan sejumlah permasalahan rumit yang juga membahayakan dari sisi kesehatan.
Mulai dari masalah kepadatan penduduk, gizi buruk, ketidakpastian hidup dan kurangnya akses layanan kesehatan. Kondisi ini tentu menempatkan sebagian masyarakat pada risiko yang lebih tinggi atas paparan COVID-19.
Di samping itu, ada banyak dampak telah dilaporkan terjadi di masyarakat. Kasus depresi, bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, dan penyakit kejiwaan diketahui meningkat secara signifikan.
Dengan kata lain, COVID-19 tidak bisa dilihat sebagai satu kasus yang berdiri sendiri. COVID-19 melibatkan banyak faktor seperti politik, latar belakang dan kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat.
Baca juga:Meski Sudah Pulih, Ini Efek Corona Jangka Panjang yang Mungkin Terjadi!
Perbedaan endemi, epidemi, pandemi, dan sindemi
Belakangan, istilah endemi, epidemi dan pandemi ramai digunakan dan diperbincangkan. Kini, Horton menyinggung istilah lain yang disebut lebih parah dari pandemi, yaitu sindemi. Supaya tidak tertukar, inilah perbedaan dari keempatnya.
- Endemi: berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), endemi berarti penyakit yang berjangkit di suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat
- Epidemi: dilansir WHO, epidemi berarti terjadinya kasus suatu penyakit dalam komunitas atau wilayah, perilaku terkait kesehatan tertentu, atau kejadian terkait kesehatan lainnya yang melebihi perkiraan normal
- Pandemi: masih dari WHO, pandemi berarti penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia
- Sindemi: merujuk dari The Lancet, sindemi diartikan sebagai interaksi biologis dan sosial yang berkaitan dengan perkembangan suatu penyakit. Termasuk pengobatan, dan kebijakan kesehatan.
Mungkin kamu jarang mendengarnya, atau bahkan baru kali ini mendengarnya. Tetapi sindemi bukanlah istilah baru. Istilah sindemi telah diperkenalkan oleh Merrill Singer, antropologi medis Amerika Serikat pada awal tahun 1990-an.
Istilah ini digunakan Singer untuk menggambarkan kasus penyalahgunaan zat, kekerasan, dan AIDS (SAVA), yang telah menjadi krisis kesehatan besar-besaran di Amerika Serikat.
Melalui kasus tersebut, Singer memerhatikan banyak elemen sosial dan ekonomi yang semakin memperburuk beban penyakit.
Baca juga: Fakta Tentang Virus Corona Bisa Menyebar Lewat Paket Kiriman Barang
Menanggapi COVID-19
Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 memang telah diketahui bertalian erat dengan penyakit kronis lainnya.
Orang dengan obesitas, diabetes, penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan kronis, hingga kanker diketahui dapat mengembangkan penyakit ini dengan kondisi yang jauh lebih buruk.
Ketika melihat COVID-19 sebagai sindemi, tentunya sebagian kelompok masyarakat ada dalam risiko dan bahaya yang lebih tinggi lagi.
Terutama kelompok masyarakat yang memiliki penyakit kronis tidak menular serta latar belakang sosio dan ekonomi rendah. Ditambah adanya faktor lingkungan seperti polusi udara yang telah memperburuk jumlah kematian akibat COVID-19.
Sindemi pada konteks COVID-19 juga dikaitkan dengan permasalahan lain yang lebih kompleks.
Selain karena banyaknya jumlah masyarakat yang memiliki komorbid, masalah ketidakpercayaan pada sains, kepemimpinan politik, dan sistem pelayanan kesehatan yang tidak memadai akan memperburuk penyebaran virus.
Istilah sindemi harus sesuai konteks
Meski telah dinyatakan sebagai sindemi oleh Horton, Emily Mendenhall, sesama peneliti dan profesor dari Georgetown University menyampaikan kritiknya atas klaim tersebut. Melalui situs The Lancet, Mendenhall mengingatkan bahwa istilah sindemi tidak berlaku secara global.
Dengan kata lain, sindemi COVID-19 tidaklah berlaku di seluruh negara di dunia. New Zealand misalnya, negara tersebut berhasil membuat penanganan COVID-19 yang baik. Dengan demikian, istilah sindemi tidak berlaku bagi New Zealand.
Dalam konteks penanganan COVID-19, kepemimpinan politik menjadi sangat penting untuk menekan atau mencegah jumlah korban jiwa. Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini masih sangat banyak negara yang gagal menangani COVID-19.
Melihat betapa kompleksnya permasalahan COVID-19, para peneliti setuju bahwa badai virus ini harus diselesaikan dengan pendekatan yang khusus. Dengan melibatkan cara pandang yang lebih luas, sehingga negara-negara yang terdampak dapat segera bangkit dan kembali memiliki harapan.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!