Share This Article
Beberapa hari ke belakang, beredar kabar bahwa di Inggris telah muncul varian baru evolusi dari virus penyebab COVID-19. Setidaknya ada 17 mutasi virus SARS-CoV-2 yang disebut sebagai B.1.1.7. Varian virus ini pun disebut-sebut memiliki sifat lebih menular daripada virus aslinya.
Kabar tersebut tentu mengkhawatirkan banyak pihak karena saat ini pandemi COVID-19 belum juga berakhir. Lalu seperti apa fakta medisnya? Apakah pengembangan vaksin menjadi tidak efektif akibat adanya evolusi dari SARS-CoV-2?
Sejarah evolusi virus
Bila melihat ke dalam sejarah, evolusi virus bukanlah hal baru. Sebelumnya, manusia pernah dihadapkan dengan evolusi dari virus HIV.
Awalnya, obat HIV dianggap dapat bekerja dengan efektif melawan virus. Namun kemanjuran tersebut tidak berlangsung lama karena virus HIV mengalami evolusi sehingga kemudian kebal pada obat.
Meski begitu, sebenarnya sebagian virus juga dapat secara efektif ditangani dengan vaksin. Misalnya virus cacar. Virus ini diketahui tidak memiliki kemampuan berevolusi melawan vaksin cacar. Begitu juga dengan virus campak.
Tetapi pada kasus pneumonia, bakteri diketahui dapat berevolusi dan resisten terhadap vaksin. Kondisi seperti inilah yang dapat membuat pengembangan vaksin berlangsung lebih lama karena formula vaksin perlu diubah.
Baca juga: Perlukah Menunda Pemberian Vaksin Saat Anak dalam Kondisi Sakit?
Proses evolusi virus
Menurut WHO, saat virus menggandakan diri terkadang virus dapat mengalami perubahan. Perubahan ini disebut “mutasi”. Kemudian virus hasil mutasi baru ini disebut sebagai “varian” dari virus asli.
Namun kemampuan mutasi ini tidak dimiliki oleh semua virus. SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 termasuk virus yang bermutasi lebih lambat dibandingkan virus HIV atau virus influenza.
Penyebabnya adalah SARS-CoV-2 memiliki “mekanisme pemeriksaan” internal yang mengoreksi kesalahan saat membuat salinan dirinya sendiri.
Terkadang, virus yang telah berevolusi menghasilkan varian virus yang lebih mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan dibandingkan dengan virus aslinya. Sehingga varian virus ini akan menjadi dominan di lingkungan tertentu.
Proses evolusi virus ini merupakan proses alami dan normal dilalui oleh semua virus. Meski begitu, tidak semua perubahan memberikan dampak. Tidak jarang, evolusi virus berdampak sedikit atau tidak sama sekali.
Baca juga: Berapa Lama Antibodi Pasien Sembuh dari COVID-19 Bisa Bertahan?
Evolusi virus COVID-19
Evolusi SARS-CoV-2 yang dikabarkan di Inggris bukanlah evolusi yang pertama kali terjadi pada virus penyebab COVID-19 ini. Bahkan dilansir dari dw, faktanya, virus yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, Cina, bukanlah virus yang sama yang ditemukan di penjuru dunia saat ini.
Namun kasus perubahan virus di Inggris tersebut cukup meresahkan para peneliti. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan konsorsium Covid-19 Genoics UK, varian virus B.1.1.7 diperkirakan 70 persen lebih menular daripada virus aslinya.
Meski begitu para peneliti belum bisa menyimpulkan secara pasti karena penemuan ini masih terus harus dipantau.
“Saya setuju kita harus menyelidiki hal ini. Tetapi sampai kami memiliki beberapa data, kami harus benar-benar berhati-hati untuk bicara, ” kata Vincent Racaniello, seorang ahli virus di Universitas Columbia.
WHO juga mengatakan kalau akan terus memantau perubahan dari virus penyebab COVID-19. Pasalnya perubahan materi genetik virus dapat memengaruhi bentuk atau sifat virus, perilaku, serta penyebarannya.
Bila ada perubahan, WHO akan segera mengambil tindakan untuk mencegah penyebaran varian tersebut.
Namun, sejauh ini, SARS-CoV-2 mengalami perubahan yang sangat sedikit sehingga tidak berdampak pada diagnostik, terapeutik dan vaksin yang tersedia yang sedang dalam pengembangan.
Pengembangan vaksin akan terus berjalan
Kabar proses evolusi atau mutasi dari SARS-CoV-2 ini tentu membuat banyak orang bertanya-tanya. Apakah kemudian vaksin yang sedang dikembangkan menjadi tidak efektif atau tetap bisa digunakan untuk melawan virus COVID-19 yang muncul dengan varian baru.
Dilansir dari Scientificamerican, Michael Farzan, ahli imunologi di Scripps Research Institute mengatakan bahwa adanya evolusi virus ini tidak akan menghambat maupun membuat pengembangan vaksin yang sedang berjalan menjadi sia-sia.
Menurutnya, justru saat ini pengembang vaksin memiliki target baru yakni untuk menyesuaikan produknya dengan menargetkan versi baru dari virus.
Di samping itu, Scott Weaver, ahli imunologi di University of Texas Medical Branch (UTMB) juga berpendapat bahwa mutasi pada virus tidak bisa dijadikan alasan orang-orang melewatkan vaksin.
Pasalnya vaksin masih sangat efektif melindungi lebih dari 90 persen orang dari penyakit COVID-19. Hingga saat ini juga belum ada uji klinis yang membuktikan bahwa varian baru dari virus ini resisten terhadap vaksin yang sedang dikembangkan.
Namun dengan terjadinya evolusi dari virus penyebab COVID-19, setiap orang masih terus disarankan untuk menjaga jarak dan menggunakan masker untuk mencegah penularan.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!