Share This Article
Sebuah kabar negatif kembali membayangi vaksin COVID-19. Belakangan disebutkan vaksin COVID-19 dapat menyebabkan kemandulan. Kabar ini bahkan ramai diperbincangkan di media sosial.
Vaksin COVID-19 disebut-sebut dapat mengubah DNA seseorang. Namun benarkah demikian? Mari simak fakta sebenarnya berikut ini!
Asal mula munculnya hoax vaksin sebabkan kemandulan
Pencetus mitos tersebut ini adalah Wolfgang Wodarg, seorang politisi dan dokter Jerman yang meninggalkan praktik medis pada tahun 1994.
Pada Desember lalu, Wodarg dan mantan karyawan Pfizer mengajukan petisi kepada European Medicines Agency untuk menunda persetujuan vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Pfizer-BioNTech.
Mereka berspekulasi bahwa vaksin tersebut memicu antibodi pelawan penyakit terhadap protein spike virus corona, yang mungkin memicu respons kekebalan terhadap protein yang disebut syncytin-1.
Syncytin-1 terlibat dalam pembentukan plasenta manusia. Tanpa plasenta artinya tidak hamil, yang artinya kemandulan.
Selain menyebar mitos mengenai vaksin COVID-19, ia juga merupakan penggerak utama di balik seruan bahwa pandemi flu babi itu palsu pada tahun 2010.
Dirinya menuduh bahwa perusahaan obat telah menggunakan krisis tersebut untuk membuang-buang uang untuk strategi vaksin yang tidak efisien. Bahkan mereka menyebutkan perusahaan obat membuat orang terpapar vaksin yang tidak teruji secara memadai.
Baca Juga : Jangan Kurang Tidur Sebelum Vaksinasi COVID-19, Ini Alasannya!
Benarkah vaksin COVID-19 dapat menyebabkan kemandulan?
Dr. Katherine O’Brien melalui situs resmi WHO menegaskan bahwa anggapan tersebut hanyalah mitos alias hoax.
“Ini adalah rumor yang telah banyak beredar, bahkan pada beberapa vaksin berbeda sebelumnya. Tidak ada kebenaran pada rumor tersebut. Tidak ada vaksin yang menyebabkan infertilitas,” katanya.
Paul Offit, MD, dokter anak sekaligus pakar vaksin di Children’s Hospital of Philadelphia melalui Web MD juga menyerukan hal yang sama. Ia menyebut tidak ada bukti bahwa pandemi ini telah mengubah pola kesuburan.
FDA telah menyetujui vaksin Pfizer dan Moderna untuk digunakan pada wanita usia subur. Meskipun wanita hamil tidak diikutsertakan dalam uji coba vaksin, beberapa responden wanita yang berpartisipasi dalam uji coba tersebut tetap bisa hamil.
Baca Juga : 9 Syarat Penerima Vaksin COVID-19 di Indonesia
Fakta sains di balik klaim vaksin COVID dapat mengubah DNA
Hoax soal kemandulan ini dikaitkan dengan kemampuan vaksin dalam mengubah asam deoksiribonukleat alias DNA. Dr. Katherine pun menjelaskan mengenai fakta sains di balik klaim tersebut.
Kini ada dua jenis vaksin yang disebut sebagai vaksin mRNA. Nah, mRNA tidak bisa berubah menjadi DNA. Selain itu, tidak mungkin pula mRNA dapat mengubah DNA sel manusia.
Apa itu mRNA? mRNA adalah instruksi bagi tubuh untuk membuat protein. Kebanyakan vaksin dikembangkan dengan benar-benar memberikan protein atau memberikan komponen kecil dari kuman atau virus yang kita coba untuk vaksinasi.
Disebutkan bahwa mRNA ini adalah pendekatan baru di mana alih-alih memberikan bagian kecil itu, kita hanya memberikan instruksi kepada tubuh kita sendiri untuk membuat dan kemudian sistem kekebalan alami kita meresponsnya.
Vaksin memang punya efek samping, tapi tidak sampai kemandulan
Offit mengatakan ada kasus di mana vaksin menyebabkan efek biologis terkait dengan penyakit, contohnya campak.
Setelah vaksin campak, kamu bisa mengalami sedikit pembuluh darah yang rusak, yang disebut petechiae, sebagai akibat dari masalah pembekuan darah.
Meskipun bisa terjadi, namun kasusnya sangat jarang. Menurutnya, vaksin menyebabkan fenomena itu karena penyakit campak itu sendiri juga bisa menjadi penyebabnya. Maka dari itu,sejauh ini tidak ada bukti kalau virus corona dapat memengaruhi kesuburan seseorang.
Ia pun menegaskan bahwa apabila infeksi alami tidak berpengaruh demikian, maka besar kemungkinan vaksinnya juga.
Baca Juga : 3 Gejala Kemungkinan Vaksin COVID-19 Bekerja Baik pada Tubuh
Efek vaksin COVID-19 yang mungkin terjadi
Sejauh ini, Offit mengatakan masalah utama dari efek vaksin yakni reaksi alergi parah, yang tampaknya sangat jarang terjadi. Namun menurutnya, reaksi alergi tersebut masih bisa diobati.
Itu salah satu alasan mengapa Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyarankan orang-orang yang memiliki alergi terhadap bagian mana pun dari vaksin, termasuk polyethylene glycol (PEG) atau senyawa terkait yang disebut polisorbat, untuk menghindari suntikan pertama ini.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, download aplikasi Good Doctor di sini!