Share This Article
Sebelumnya, anosmia atau hilangnya kemampuan seseorang untuk mencium bau dan merasakan rasa menjadi gejala paling umum oleh pasien COVID-19.
Namun ternyata, gejala COVID-19 terus berkembang. Kali ini, diketahui muncul gejala baru, yakni parosmia yang juga mengganggu indra penciuman seseorang.
Apa itu parosmia?
Parosmia adalah kerusakan atau gangguan pada indra penciuman yang mengakibatkan bau apapun di sekitarnya terasa berbeda dan tidak sedap.
Menurut Richard Doty, Direktur Pusat Penelitian Bau dan Rasa di Universitas Pennsylvania, parosmia dapat berdampak lebih parah daripada kehilangan penciuman (anosmia) karena menyebabkan segala sesuatu jadi berbau tidak sedap.
Terutama makanan dan minuman. Bahkan, menurutnya, air putih pun bisa terasa tidak sedap akibat bau yang ditimbulkan.
Bila kamu mengalaminya, kamu mungkin mencium berbagai aroma menjadi tidak enak. Misalnya ketika berhadapan dengan makanan kamu malah mencium bau lain yang terasa seperti belerang, ikan, roti gosong, atau bau amis.
Baca juga: Waspadai Gejala Baru COVID-19 Hidung Kering: Ini Fakta & Update Risetnya
Parosmia dan COVID-19
Perubahan rasa dan bau adalah salah satu gejala COVID-19 yang paling umum.
Dalam survei yang diterbitkan pada bulan Juni di Chemical Senses, meyebutkan bahwa 7 persen dari 4.000 responden yang didiagnosis COVID-19 mengalami gangguan penciuman. Termasuk kondisi parosmia.
Menurut Nirmal Kumar, ahli bedah telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) bahwa gejala parosmia sangat aneh dan unik. Kumar juga menambahkan kalau kondisi ini banyak dialami oleh tenaga kesehatan dan kaum muda.
Selain dianggap sebagai gejala dari COVID-19, parosmia juga diketahui sering terjadi pada orang yang baru pulih dari COVID-19. Biasanya fase ini terjadi akibat tubuh pasien sedang dalam usaha untuk mengembalikan indra penciumannya.
Bagaimana parosmia terjadi?
Parosmia terjadi setelah neuron (sel saraf) yang bertugas sebagai pendeteksi aroma rusak karena virus atau kondisi kesehatan lainnya.
Padahal dalam kondisi normal, neuron-neuron tersebut akan melapisi hidung dan mengirimkan sinyal informasi pada otak mengenai bau.
Biasanya sinyal tersebut diterima oleh saraf olfaktori yang ada di bagian bawah depan otak. Kemudian otak akan menganalisa apakah bau tersebut membangkitkan selera atau justru sebaliknya.
Ketika neuron rusak, penerimaan informasi ke otak pun menjadi terganggu. Sehingga informasi bau yang sampai ke otak tidak tepat.
Kasus parosmia sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh infeksi virus. Beberapa hal lain juga dapat menyebabkan parosmia. Misalnya, merokok, paparan zat kimia, cedera kepala, efek samping dari pengobatan kanker hingga tumor.
Ketika mengalami parosmia seseorang dapat merasakan banyak dampak yang kompleks. Mulai dari kehilangan selera makan, perubahan suasana hati, tidak mampu mendeteksi bahaya di sekitarnya, hingga memengaruhi kehidupan sosial.
Cara mengatasi parosmia
Dilansir dari Healthline, secara umum, parosmia dapat diatasi dengan beberapa cara tergantung pada penyebabnya.
Pada kondisi polip atau tumor kemungkinan tindakan yang harus dilakukan adalah pembedahan. Namun pada kondisi infeksi virus, parosmia biasanya diatasi dengan minum obat-obatan seperti antibiotik, vitamin A dan zinc.
Orang yang mengalami parosmia juga disarankan untuk melakukan “latihan mencium”. Latihan ini dilakukan dengan cara mencium empat jenis aroma berbeda setiap pagi selama minimal 10-15 detik.
Hal ini penting untuk melatih otak agar dapat mengategorikan aroma tersebut dengan tepat.
Tidak perlu panik saat mengalami parosmia
Parosmia adalah gangguan yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Kondisi ini juga dikonfirmasi sebagai gejala seseorang yang baru saja pulih dari infeksi COVID-19.
Meski begitu, dilansir dari The Washington Post, menurut Justin Turner, direktur medis Pusat Penelitian Penciuman dan Rasa di Pusat Medis Universitas Vanderbilt, mengalami parosmia setelah infeksi COVID-19 adalah hal baik.
Menurutnya kondisi parosmia berarti menandakan bahwa tubuh sedang berusaha kembali ke kondisi normal. Kondisi ini menandakan bahwa tubuh mengalami regenerasi jaringan penciuman sehingga orang yang mengalami parosmia tidak perlu panik.
Parosmia juga biasanya bukan kondisi permanen karena neuron di dalam tubuh dapat memperbaiki diri sendiri seiring waktu. Parosmia yang terjadi akibat infeksi virus pun dapat kembali normal tanpa pengobatan.
Namun tidak ada patokan khusus berapa lama parosmia akan sembuh saat seseorang mengalaminya. Setiap orang akan mengalaminya dalam waktu yang berbeda, parosmia mungkin terjadi dalam waktu mingguan, bulanan, bahkan tahunan.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!