Share This Article
Pandemi COVID-19 kini mulai dikaitkan dengan berbagai jenis pemicu stres. Salah satunya bahkan berkaitan dengan gejala berupa gangguan mental.
Diyakini infeksi COVID-19 tampaknya meningkatkan risiko gejala neuropsikiatri termasuk psikosis. Berikut penjelasannya!
Keterkaitan antara COVID-19 dan gejala psikosis
Dilansir NCBI, terdapat kasus laki-laki berusia 52 tahun tanpa riwayat gangguan jiwa sebelumnya yang mengalami paranoid parah yang mengarah ke upaya bunuh diri.
Kemudian ia berhasil diobati dengan kombinasi perubahan lingkungan, farmakoterapi, dan terapi elektrokonvulsif. Hal itu membuktikan bahwa COVID-19, dapat meningkatkan risiko psikosis parah dan perilaku bunuh diri.
Kemunculan dan penyebaran global dari coronavirus (COVID-19) pada tahun 2019 telah menimbulkan beban kesehatan mental yang signifikan.
Banyak manifestasi kejiwaan COVID-19 merupakan konsekuensi dari tekanan psikologis, seperti ketakutan akan penyakit dan kematian, isolasi sosial yang berkepanjangan, serta ketidakpastian dan ketakutan akan masa depan.
Gejala gangguan psikis pada pasien COVID-19
Melansir penjelasan NCBI, gejala sisa neuropsikiatri yang muncul dari COVID-19 yaitu:
- Ensefalopati
- Kecemasan
- Depresi
- Gangguan terkait trauma
Potensi virus untuk menyebabkan psikosis sangat menarik, mengingat kaitannya dengan keinginan bunuh diri atau pembunuhan akut dan gangguan persepsi dan perilaku parah lainnya.
Kasus-kasus tersebut dianggap sebagai contoh cara lain proses penyakit COVID-19 dapat memengaruhi kesehatan mental dan fungsi otak.
Melansir penjelasan dari The New York Times, meskipun virus corona pada awalnya dianggap hanya dapat menimbulkan gangguan pernapasan, sekarang terdapat banyak bukti adanya gejala lain.
Termasuk efek neurologis, kognitif, dan psikologis, yang dapat muncul bahkan pada pasien yang tidak mengalami masalah paru-paru, jantung dan penyakit parah lainnya.
Gejala seperti itu bisa mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi dan bekerja, dan sering kali tidak jelas berapa lama akan bertahan atau bagaimana mengobatinya.
Para ahli semakin percaya bahwa efek pada otak mungkin terkait dengan respons sistem kekebalan tubuh saat menghadapi virus corona. Selain itu, ada kemungkinan masalah pembuluh darah atau lonjakan peradangan yang disebabkan oleh proses penyakit tersebut.
Hubungan psikosis dan COVID-19
Hubungan dengan psikosis telah dijelaskan pada jenis lain dari virus corona, termasuk spesies yang bertanggung jawab atas sindrom pernapasan akut yang parah (SARS)
Gejala umum yang diamati pada psikosis terkait SARS termasuk delusi penganiayaan, halusinasi pendengaran, pikiran dan perilaku bunuh diri, serta gangguan tidur.
Sebuah survei yang dijelaskan dalam laman NCBI terhadap pasien SARS yang baru saja keluar dari rumah sakit menemukan bahwa tingkat keparahan penyakit diukur dengan beberapa hal ini:
- Pemeriksaan rontgen thorax
- Kebutuhan oksigen maksimum
- Kebutuhan perawatan ICU
- Lama rawat inap
Beberapa hal di atas merupakan prediktor independen dari psikosis baru dan masalah perilaku baik pada kondisi akut dan tahap penyembuhan penyakit.
Dibandingkan dengan pasien SARS tanpa komplikasi kejiwaan, pasien SARS dengan gangguan psikosis baru memiliki tingkat riwayat penyakit kejiwaan keluarga yang lebih tinggi, serta tingkat infeksi SARS yang lebih tinggi pada anggota keluarga.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kerentanan emosional dan stres psikososial dapat berkontribusi, sebagian, pada psikosis yang terkait dengan infeksi virus corona.
Baca juga: Mengenal Parosmia: Gejala Baru COVID-19
Penyebab psikosis pada pasien COVID-19
Psikosis yang disebabkan oleh infeksi virus telah dikaitkan dengan wabah penyakit menular baru lainnya.
Satu studi yang dilansir dari laman NCBI, bahwa wabah influenza H1N1, Ebola, SARS, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), dan COVID-19 memperkirakan bahwa 0,9 hingga 4 persen orang yang terpapar virus selama pandemi berkembang menjadi psikotik lebih tinggi dari biasanya.
Ditemukan juga bahwa antipsikotik atipikal dosis rendah, terutama aripiprazole, ternyata efektif dalam mengobati psikosis yang terkait dengan infeksi virus.
Beberapa laporan kasus baru-baru ini diterbitkan yang menggambarkan pasien tanpa riwayat kejiwaan ternyata harus mengalami psikosis akut dalam pengaturan tes diagnostik positif untuk COVID-19.
Tentu saja pasien ini mengalami kecemasan yang parah, agitasi, kecurigaan, dan halusinasi pendengaran.
Tidak ada pasien yang menunjukkan gejala pernapasan atau konstitusional yang terkait dengan COVID-19, tetapi mereka menunjukkan tanda-tanda peradangan sistemik yang dibuktikan dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP) dan penanda inflamasi lainnya.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!