Share This Article
Tak berselang lama dari menurunnya jumlah kasus COVID-19 di Indonesia, muncul kabar kurang menyenangkan terkait virus yang satu ini. Ini terkait persebaran virus COVID-19 varian terbaru, yang dinamakan AY.4.2 atau Delta Plus di Inggris.
Apa saja hal yang perlu diwaspadai dari mutasi virus tersebut? Teruskan membaca artikel di bawah untuk mengetahui jawabannya.
Baca juga: Mengenali Beda Ruam Kulit Biasa dengan Gejala COVID-19
Fakta-fakta seputar varian Delta Plus
Seiring dengan masih berjalannya pandemi, virus COVID-19 memang telah mengalami mutasi ke dalam berbagai varian baru. Dilansir dari NCBI, sampai dengan saat ini setidaknya ada 11 varian yang diketahui telah dilaporkan.
Adapun untuk varian Delta Plus, ini mengacu pada sub-strain Delta yang mengalami mutasi pada apa yang disebut K417N. Mutasi ini ditemukan dalam dua versi, yakni Delta AY.1 dan AY.2, keduanya disebut sebagai Delta Plus.
Mutasi memengaruhi area protein lonjakan yang disebut domain pengikatan reseptor. Area inilah yang mengatur seberapa efektif virus dapat menempel pada sel, dan K417N dianggap membantu virus menciptakan ikatan yang lebih kuat antara dirinya dan inangnya.
Persebaran varian Delta Plus
Varian ini pertama kali terdeteksi di India pada Desember 2020 dan sejak itu menyebar ke berbagai negara termasuk Inggris dan Amerika Serikat.
Dilansir dari Covid.cdc.gov, varian Delta Plus telah mendominasi lebih dari 99 persen kasus COVID-19, dan menyebabkan peningkatan rawat inap yang luar biasa di beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Adapun di Inggris, mantan komisioner Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), Scott Gottlieb, MD, mengatakan bahwa Inggris telah melaporkan peningkatan jumlah kasus COVID-19 terbesar dalam satu hari selama tiga bulan terakhir.
Kondisi ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya jumlah kasus berurutan akibat virus COVID-19 varian Delta Plus yakni sebanyak 8 persen. Hal ini mendorong berbagai pihak untuk melakukan penelitian mendesak terhadap mutasi Delta Plus, karena dicurigai dapat menular lebih cepat dibandingkan jenis mutasi sebelumnya.
Gejala-gejala yang ditimbulkan
Sejauh ini, belum ada data yang menunjukkan bahwa gejala yang ditimbulkan varian ini berbeda dengan jenis virus Corona lainnya. Ini artinya gejala yang akan muncul kurang lebih masih berkutat di:
- Suhu tinggi
- Batuk yang terus menerus, selama lebih dari satu jam, atau tiga atau lebih dalam 24 jam .
- Kehilangan atau perubahan pada indra penciuman atau pengecap.
Seseorang yang terinfeksi varian Delta Plus disebut akan memiliki setidaknya salah satu dari tiga gejala di atas.
Apakah varian Delta Plus lebih berbahaya?
Dilansir dari Healthline, Francois Balloux, PhD, direktur di University College London Genetics Institute, menyebutkan bahwa berdasarkan data, varian AY.4.2 bisa 10 persen lebih menular daripada varian Delta Inggris yang paling umum.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) juga mengatakan bahwa varian Delta Plus sangat menular dan lebih tahan terhadap pengobatan daripada varian aslinya.
Kendati demikian, para ahli mengatakan bahwa hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Dr. Len Horovitz, spesialis penyakit dalam dan paru di Lenox Hill Hospital, New York, mengatakan bahwa lebih menular bukan berarti varian ini lebih berbahaya atau ganas.
Horovitz juga mengatakan bahwa istilah ‘lebih menular’ di sini lebih pas jika diartikan dengan dengan masa inkubasi virus yang lebih pendek. Maknanya, varian Delta Plus dapat menular dan menyebar dengan lebih cepat daripada varian lama yang membutuhkan inkubasi lebih lama.
Vaksin efektif melawan varian ini
Meski setiap mutasi virus Corona memiliki kemungkinan kebal terhadap daya tahan tubuh yang dihasilkan vaksin. Tapi Horovitz mengonfirmasi bahwa tidak mungkin varian Delta Plus dapat menghindari semua kekebalan yang telah dibentuk vaksin.
Jadi bisa dikatakan bahwa vaksin dipercaya masih efektif dalam melawan varian yang satu ini. Akan tetapi kemunculan varian ini juga membuka peluang adanya peningkatan jumlah kasus komplikasi yang membutuhkan rawat inap menjadi bertambah banyak.
Kendati demikian, Horovitz menegaskan bahwa vaksin tetap dapat melindungi seseorang yang telah divaksin, dari risiko menjalani rawat inap dan kematian akibat terinfeksi varian baru tersebut.
Baca juga: Benarkah Penderita HIV/AIDS Lebih Berisiko Terinfeksi COVID-19?
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!