Share This Article
Beberapa waktu lalu, penggabungan dua vaksin COVID-19 dari produsen berbeda dinilai bisa meningkatkan sistem imun. Namun, baru-baru ini, World Health Organization (WHO) mengimbau untuk menghentikan praktik tersebut.
Apa alasan WHO menentang penggabungan dua vaksin COVID-19 berbeda? Yuk, temukan jawabannya dengan ulasan berikut ini!
Imbauan WHO soal pencampuran vaksin
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh Asosiasi Koresponden Perserikatan Bangsa-Bangsa (ACANU) di Swiss, 3 Juli lalu, perwakilan WHO mengimbau semua negara untuk tidak melakukan praktik pencampuran vaksin dari produsen yang berbeda.
Praktik mencampur dan mengombinasikan dua vaksin berbeda telah dan akan dilakukan di beberapa negara, dua di antaranya adalah Kanada dan Thailand.
Di Thailand, para pejabat berencana mencampur vaksin COVID-19 buatan Sinovac dan AstraZeneca. Sedangkan di Kanada, satu orang direkomendasikan mendapat vaksin AstraZeneca untuk dosis pertama, lalu vaksin buatan Pfizer atau Moderna untuk dosis kedua.
Baca juga: 5 Hal yang Harus Dilakukan setelah Disuntik Vaksin COVID-19, Apa Saja?
Alasan pelarangan
Menurut penjelasan Soumya Swaminathan, Kepala Ilmuwan di WHO, seperti dikutip dari Reuters, mencampur dan mencocokkan (mix and match) satu vaksin dengan yang lainnya bisa menjadi “tren berbahaya”, karena hanya ada sedikit data yang tersedia tentang dampak kesehatannya.
Belum diketahui secara pasti tentang efek jangka panjang dari praktik mencampur dua vaksin COVID-19. Bukan hanya itu, tren tersebut juga dikhawatirkan dapat membuat situasi menjadi kacau di beberapa negara tertentu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Hingga saat ini, pemerintah Indonesia masih belum melakukan praktik mencampur dan mengombinasikan dua vaksin COVID-19 berbeda.
Namun, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan, vaksin buatan Moderna akan diberikan kepada tenaga kesehatan (nakes) sebagai dosis ketiga atau penguat (booster).
Minggu (11/7) lalu, tiga juta dosis vaksin Moderna sudah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, dari Amerika Serikat.
Sebenarnya, Indonesia bukan negara pertama yang merencanakan pemberian dosis penguat. Sebelumnya, sudah ada beberapa negara yang mengusulkan hal serupa, seperti Amerika Serikat, Thailand, Kanada, Inggris, Finlandia, Prancis, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Swiss.
Penelitian tentang penggabungan dua vaksin
Praktik menggabungkan dua vaksin berbeda tentu punya alasan dan landasan khusus. Salah satunya berdasakan sebuah penelitian yang dipimpin oleh sejumlah ilmuwan asal Carlos III Health Institute di Madrid. Uji coba tersebut dilakukan di Jerman dan Spanyol mulai April 2021.
Secara garis besar, penelitian itu berfokus pada dua kelompok peserta, yaitu yang diberi dua vaksin berbeda dan yang hanya diberi satu jenis vaksin. Dua vaksin yang digunakan berasal dari perusahaan farmasi Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca.
Magdalena Campins, salah satu peneliti yang turun langsung di rumah sakit Vall d’Hebron University Hospital, Spanyol, mengatakan, vaksin Pfizer-BioNTech tampaknya bisa memacu respons kekebalan lebih tinggi pada peserta yang telah diberi vaksin AstraZeneca.
Setelah pemberian dosis kedua, peserta dalam penelitian mulai mengindikasikan adanya peningkatan antibodi yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam uji laboratorium, antibodi tersebut diketahui mampu mengenali dan menonaktifkan virus Corona.
Sedangkan untuk peserta yang hanya mendapatkan satu jenis vaksin, antibodi yang dihasilkan cenderung stagnan alias tidak ada perubahan signifikan.
Baca juga: Pakar: Dua Dosis Vaksin Bisa Lindungi Tubuh dari Virus Corona Delta
Kekurangan menggabungkan dua vaksin
Meski disebut bisa meningkatkan kekebalan dan sistem imun, metode penggabungan dua vaksin COVID-19 tetap punya celah. Penelitian yang dilakukan sebelumnya di Inggris menemukan efek samping yang patut diwaspadai.
Studi itu menemukan fakta bahwa metode mix-and-match vaksin dapat meningkatkan efek samping dalam skala yang lebih tinggi, misalnya demam. Orang yang mendapat vaksin kombinasi lebih rentan mengalami efek samping tersebut ketimbang yang hanya mendapat satu jenis vaksin.
Sebenarnya, riset yang dilakukan di Spanyol juga mendeteksi adanya risiko efek samping tersebut. Hanya saja, efek samping itu dianggap tidak parah alias berskala ringan sampai sedang.
Namun, untuk efek jangka panjang pada kesehatan dari penggabungan dua vaksin, belum ada penelitian yang secara spesifik membahasnya.
Nah, itulah ulasan tentang imbauan WHO untuk tidak mengombinasikan dan mencampur dua vaksin COVID-19 yang berbeda. Meski sudah divaksin, jangan lupa untuk selalu terapkan protokol kesehatan di mana pun kamu berada, ya!
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!