Share This Article
Tak banyak yang tahu jika Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan tanggal 18–24 November sebagai Pekan Peduli Antimikroba Sedunia. Bahkan mungkin istilah tersebut masih terdengar sangat asing di telingamu.
Padahal resistensi antimikroba (AMR) sudah masuk dalam 10 besar masalah kesehatan global yang mengancam jiwa. Yuk, ketahui apa itu resistensi antimikroba lewat ulasan berikut.
Baca juga: Miliki Fungsi Berbeda, Ini 10 Golongan Antibiotik yang Perlu Kamu Tahu
Sekilas tentang resistensi antimikroba
Antimikroba, termasuk antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit adalah obat yang dipakai untuk mencegah dan mengobati infeksi baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Adapun resistensi antimikroba adalah kondisi di mana fungsi dari obat antimikroba tersebut menjadi tidak efektif, sehingga infeksi semakin sulit untuk ditangani atau bahkan tidak mungkin diobati.
Kondisi ini sudah menjadi krisis kesehatan global sampai-sampai disebut dengan silent pandemic atau pandemi senyap. Dilansir dari Kementerian Kesehatan, angka kematian akibat AMR sampai 2014 sudah mencapai 700.000 kasus per tahun.
Seiring dengan cepatnya penyebaran dan perkembangan infeksi bakteri, angka tersebut diperkirakan akan menyaingi jumlah kematian akibat kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa pada 2050 mendatang.
Penyebab dan dampak AMR
Dilansir dari Centers fo Disease Control and Prevention, resistensi antimikroba terjadi karena kuman seperti bakteri dan jamur mengembangkan kemampuannya untuk mengalahkan obat yang dirancang untuk membunuh mereka.
Artinya kuman tidak terbunuh dan dapat terus berkembang biak, sehingga berdampak pada penyakit menjadi sulit diobati, semakin parah, atau bahkan sampai menyebabkan kematian.
Salah satu faktor pemicu terjadinya AMR adalah penggunaan antimikroba yang tidak bijak pada manusia maupun hewan. Dalam kasus pengobatan Tubercolosis (TB) misalnya, pemakaian obat yang tidak tuntas bisa mengakibatkan bakteri kebal terhadap obat dan TB berkembang menjadi Multi-Drugs Resistance (MDR).
Indikator lain yang menunjukkan pemakaian antimikroba yang tidak bijak bisa dilihat dari masih adanya obat antibiotik yang tersisa atau disimpan di rumah. Padahal seharusnya obat tersebut sudah habis dikonsumsi sesuai resep dari dokter.
Gejala resistensi antimikroba
Pada dasarnya AMR adalah kondisi yang sulit diketahui gejalanya. Ini karena efeknya pada tubuh hanya dapat terdeteksi dari penyakit yang menjadi sulit diobati atau tetap memburuk meski sudah menggunakan obat-obatan.
Kendati demikian, dilansir dari Cedars-Sinai, dalam kasus penggunaan obat antibiotik, kondisi ini dapat menyebabkan banyak gejala.
Tapi lagi-lagi, karena infeksi dari bakteri dapat berpengaruh pada hampir setiap sistem tubuh. Maka gejala saja tidak dapat memberi tahu kamu apakah infeksi yang kamu alami berasal dari kuman yang kebal terhadap antibiotik atau bukan.
Diagnosis dan penanganan yang dapat dilakukan
Untuk mengetahui apakah kamu mengalami resistensi antimikroba, dokter dapat mengambil sampel jaringan yang terinfeksi dan mengirimkannya ke laboratorium untuk mencari tahu jenis infeksi.
Untuk kasus resistensi antibiotik, tes tertentu dapat menunjukkan antibiotik mana yang dianggap bisa membunuh kuman. Kamu mungkin mengalami infeksi yang resisten terhadap antibiotik jika kondisi tidak membaik setelah pengobatan dengan antibiotik standar.
Adapun perawatan untuk infeksi ini dapat bervariasi. Penyedia layanan kesehatan mungkin memiliki antibiotik lain yang dapat melawan infeksi. Tapi itu mungkin memiliki kelemahan tertentu.
Ini mungkin memiliki lebih banyak efek samping atau risiko mempromosikan lebih banyak resistensi. Dalam beberapa kasus, dokter mungkin tidak memiliki opsi lain sehingga akan memberikan perawatan pendukung untuk mengatasi kondisi ini.
Mencegah resistensi antimikroba
Dilansir dari Universitas Gadjah Mada, berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan agar terhindar dari kondisi ini.
1. Hanya memakai obat antimikroba apabila diresepkan dokter
Kamu tidak boleh mengonsumsi obat antibiotik, antivirus, antiparasit, maupun antijamur kecuali telah diberikan resep oleh dokter. Ini penting karena obat-obatan tersebut tidak bisa diberikan untuk setiap penyakit secara bebas.
Mengonsumsi obat antimikroba tanpa resep dokter berpeluang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Misalnya saat kamu mengalami pilek akibat alergi namun malah mengonsumsi obat antivirus flu, ini bisa menyebabkan penyakit tidak tertangani dengan baik.
2. Tuntaskan pengobatan sesuai petunjuk dokter
Habiskan obat antimikroba sesuai dengan resep dokter, bahkan meski tubuhmu sudah terasa membaik. Hal ini akan mencegah bakteri mengembangkan kemampuannya untuk menjadi kebal terhadap obat dan menghindari pengobatan yang tidak optimal.
3. Konsumsi obat antimikroba berdasarkan anjuran dokter
Jangan membeli obat antimikroba yang telah habis tanpa berkonsultasi dulu dengan dokter. Begitupun ketika obat masih tersedia, kamu tidak boleh menghentikan pengobatannya meski gejala sudah tidak terasa lagi.
4. Rajin mencuci tangan
Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun bisa membantu kamu terhindar dari penyebaran kuman seperti bakteri dan virus tanpa harus mengonsumsi obat-obatan.
Demikian penjelasan dan cara mencegah resistensi antimikroba yang harus kamu waspadai.
Perlu kamu ingat, karena resistensi antimikroba termasuk gangguan kesehatan yang berpotensi mengancam jiwa, selalu konsultasi dokter terlebih dahulu sebelum membeli obat antibiotik atau antimikroba secara mandiri ya.
Bahkan, di era serba digital ini kamu bisa melakukan konsultasi online melalui layanan telemedicine jika belum ada waktu berobat langsung atau khawatir akan antrean panjang pasien.
Nantinya jika harus mendapatkan penanganan lanjutan di rumah sakit, jangan takut akan bayangan biaya pengobatan yang mahal. Karena kini kamu bisa memiliki asuransi rawat jalan dengan premi terjangkau, yakni mulai Rp100 ribuan per bulan. Kabar baiknya lagi, asuransi ini bisa digunakan baik online maupun offline. Klik link ini untuk menikmati manfaatnya!