Share This Article
Belum lama ini seorang perempuan buka suara mengenai pengalaman kurang menyenangkan yang dialaminya pada 2019 lalu. Perempuan ini mengungkapkan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang figur publik berinisial GH.
Sayangnya, pengakuan korban justru menimbulkan pro dan kontra di sosial media. Beberapa orang mendukung korban untuk bersuara, tapi sejumlah orang lainnya justru menyalahkan korban dengan berbagai alasan.
Lantas, apakah pro dan kontra ini yang menyebabkan seorang penyintas pelecehan seksual enggan untuk buka suara?
Perempuan penyintas pelecehan seksual dan usaha untuk buka suara
Diskriminasi berbasis gender seringkali menyebabkan perempuan dalam posisi mudah disalahkan dalam kasus pelecehan seksual. Dengan alasan gerak-gerik, dandanan, hingga lingkup pergaulan dapat dijadikan alasan pelecehan seksual wajar terjadi.
Hal-hal tersebut yang menjadi faktor bagi penyintas pelecehan seksual enggan terbuka tentang pengalaman buruk yang dialaminya.
Selain itu, menurut Komnas Perempuan, rendahnya pengetahuan tentang perilaku yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual juga bisa menjadi alasan mengapa korban memilih diam.
Alasan lain, korban biasanya mengalami dilema untuk terbuka karena adanya faktor ketergantungan psikis, finansial dan sosial terhadap pelaku pelecehan tersebut.
Misalnya, orang yang melakukan pelecehan adalah orang yang berkaitan dengan pemberi kerja, mau tidak mau akan berkaitan dengan finansial. Atau pelaku adalah orang yang terkenal, jika buka suara maka korban cenderung disudutkan oleh fans pelaku.
Bukan hanya terjadi di Indonesia
Banyak pelaku pelecehan seksual memilih diam bertahun-tahun, sebelum akhirnya buka suara. Kejadian yang dilakukan oleh GH hanya satu dari banyak kasus.
Harvey Weinstein, seorang yang ternama di Hollywood pun baru terungkap melakukan pelecehan kepada sekitar 80 wanita setelah bertahun-tahun terjadi.
Bahkan pelecehan seksual juga bisa dilakukan oleh orang dengan jabatan tinggi, seperti hakim mahkamah agung Amerika Serikat, Brett Kavanaugh. Laporan bahkan baru dilakukan setelah puluhan tahun terjadi.
Pada dasarnya, kebanyakan korban memang lebih memilih diam dan tidak langsung buka suara. Selain masalah budaya, seperti yang sudah disebutkan di atas, ada juga masalah dengan diri sendiri yang rumit untuk dipahami.
Penyintas pelecehan seksual dan dilema yang dirasakannya
Dilansir dari Thedailyaztec, banyak korban merasa diserang atau merasa tidak berdaya akibat tindakan orang lain. Termasuk pelecehan seksual, yang akhirnya menyebabkan perasaan direndahkan sebagai manusia.
“Ketika kekuatan pribadi manusia itu diserang dalam bentuk apapun, manusia akan merasa dipermalukan,” seperti yang ditulis Psychology Today.
Rasa malu itu kemudian membuat korban menyalahkan diri sendiri atas tindakan pelaku. Korban akhirnya memilih bersembunyi dan terkadang disertai juga oleh pengalaman traumatis dari si korban.
Selain itu, korban juga merasa takut. Takut tidak percaya dan takut dikucilkan, takut pelaku akan melakukan tindak pembalasan. Bahkan takut dengan respons polisi, jika mereka ingin membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
Sebelum buka suara korban ingin move on
Dilansir dari Jacksonhealth.org, tak jarang korban pelecehan seksual ingin melupakan kejadian tersebut dan move on. Korban percaya tidak perlu untuk membahas perlakuan yang didapatkannya.
Selain itu korban berpikir, membicarakan kejadian dan memikirkannya adalah pengalaman traumatis yang menyakitkan. Sehingga korban lebih memilih menghindarinya dengan cara apapun.
Apa yang bisa dilakukan untuk membantu korban pelecehan seksual?
Menurut Komnas Perempuan, adanya korban yang bersuara dapat menyemangati korban lainnya untuk mau melaporkan kasus yang dialaminya. Karena itu, jika ada korban yang buka suara, sebaiknya mendukung upaya korban.
Dukungan tersebut dapat berupa mendengarkan pengalaman mereka, jangan disudutkan dan distigma. Pengungkapan pelecehan seksual adalah langkah awal pemulihan korban.
Selain itu, dengan terungkapnya kasus yang terjadi akan memutus dan mencegah kejadian yang mungkin berulang.
Tips membantu teman atau keluarga yang mengalami pelecehan seksual
- Tetap tenang: Marah atau tidak terima adalah reaksi wajar, tetapi cobalah untuk mendengarkan terlebih dahulu cerita dari korban secara menyeluruh.
- Minta izin: Memberikan pelukan bisa menjadi dukungan, tetapi dalam kondisi yang mungkin traumatis, cobalah untuk meminta izin terlebih dahulu untuk memeluk dan menenangkan korban.
- Membantu tindakan selanjutnya: Korban pasti akan bingung dengan kondisinya, kamu bisa membantu mereka dengan menawarkan diri menemani apapun yang akan dilakukan korban. Jika korban ingin ke rumah sakit untuk pemeriksaan atau melapor ke polisi, kamu bisa ikut menemani.
- Menjaga kerahasiaan: Sulit untuk menceritakan pengalaman tidak menyenangkan. Karena itu, cobalah untuk menyimpan cerita tersebut, kecuali korban mengizinkanmu membagikan pengalaman pelecehan seksual tersebut.
- Tawarkan bantuan: Daripada merasa tahu apa yang perlu dilakukan, tanyakan pada korban bantuan apa yang paling dibutuhkan. Itu akan membuatnya merasa lebih terbantu.
Dari semua yang bisa kamu lakukan, kamu perlu mengingat bahwa pemulihan pelecehan seksual membutuhkan proses yang panjang. Korban akan belajar mengenali apa yang terjadi dan memahami perasaan dan emosi mereka.
Sebagai orang yang dipercaya mengetahui cerita tersebut, bantulah korban dengan cara bersabar dan mendukung proses pemulihannya.
Demikian beberapa alasan mengapa korban pelecehan seksual membutuhkan waktu lama atau bahkan enggan buka suara tentang pengalamannya. Semoga bisa membantu kamu jika memiliki orang terdekat yang mengalami kejadian serupa.
Jangan ragu untuk konsultasikan masalah kesehatanmu bersama dokter terpercaya melalui Good Doctor dalam layanan 24/7. Mitra dokter kami siap memberi solusi. Yuk, download aplikasi Good Doctor di sini!