Share This Article
Seperti yang kita ketahui saat ini kisah seorang ibu bernama Kanti Utami di Brebes, Jawa Tengah telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Pasalnya, Kanti membunuh anaknya sendiri dengan cara yang begitu sadis.
Dalam dunia psikologis, kejadian tersebut ternyata disebut sebagai Filicide. Yuk pahami lebih jauh.
Apa itu Filicide?
Filicide adalah tindakan orang tua yaitu ayah ibu, atau ibu tiri yang membunuh putra dan putrinya sendiri dalam keadaan sadar. Menurut penelitian, risiko Filicide tidak hilang bahkan ketika anak-anak tumbuh cukup besar untuk hidup sendiri.
Lebih dari 13 persen korban adalah orang dewasa yang berusia 18 hingga 40 tahun. Lalu, sekitar 72 persen berusia 6 tahun atau bahkan lebih muda, dan sepertiga korbannya adalah bayi di bawah usia satu tahun.
Laporan menyatakan bahwa hampir setengah dari semua korban meninggal karena pemukulan fisik atau luka lain yang langsung dilakukan oleh orang tua mereka.
Seorang bapak lebih mungkin untuk melakukan pembunuhan. Tetapi menurut sebuah studi oleh Forensic Science International mengklaim, seorang ibu juga cenderung membunuh anak-anak mereka.
Pemicu Filicide
Pemicu utama Filicide ini terjadi karena tingkat masalah kesehatan mental yang paling menonjol. Sebuah studi di 2013 dari Inggris, yang meneliti Filicide di Inggris dan Wales menemukan bahwa 37 persen pelaku memiliki riwayat penyakit mental. Usia muda pada pelaku juga menjadi faktor utamanya.
Faktor lainnya yang juga termasuk menjadi pemicu adalah terjadinya keretakan hubungan rumah tangga dan perselisihan pengasuhan pasca-perpisahan. Selain itu, orang tua yang kecanduan alkohol, narkoba, memiliki riwayat kekerasan dalam rumah tangga juga bisa menjadi pemicunya.
Menurut Phillip Resnick ada 5 motivasi orang tua yang menjadi penyebab mereka melakukan pembunuhan terhadap anak-anaknya, yaitu:
1. Filicide altruistik
Motivasi pertama yang menjadi penyebab Filicide adalah orang tua berpikir bahwa dengan membunuh anak-anak mereka itu menjadi cara terbaik mengakhiri hidup, ketimbang harus menelantarkan dan membuat hidup mereka menderita.
2. Filicide psikotik akut
Motivasi kedua yang menjadi penyebab Filicide adalah orang tua, menanggapi psikosis, membunuh anak tanpa motif rasional. Ini juga mencakup insiden sekunder yang terjadi akibat respons otomatis terkait dengan kejang atau aktivitas dalam keadaan pasca-iktal (setelah kejang).
3. Pembunuhan anak yang tidak diinginkan
Motivasi ketiga yang menjadi penyebab Filicide adalah orang tua membunuh anak karena mereka dianggap sebagai penghalang. Dalam kondisi ini biasanya orang tua merasa bahwa mereka bisa mendapatkan banyak manfaat setelah membunuh anak dengan mewarisi uang asuransi atau menikahi pasangan yang tidak menginginkan anak tiri.
4. Filicide yang tidak disengaja
Motivasi keempat yang jadi penyebab Filicide adalah orang tua secara tidak sengaja membunuh anak akibat dari pelecehan. Penyebab yang satu ini mencakup sindrom Munchausen yang jarang terjadi berdasarkan proxy.
5. Filicide balas dendam kepada pasangan
Motivasi terakhir yang jadi penyebab Filicide adalah orang tua membunuh anak sebagai cara untuk membalas dendam kepada pasangannya. Kondisi ini bisa terjadi mungkin karena perselingkuhan atau pengabaian yang terjadi dalam rumah tangga.
Beberapa motivasi yang timbul di atas pada orang tua, juga bisa menjadi alat deteksi dini terjadinya Filicide pada seseorang. Namun, ibu muda dan orang tua yang menderita penyakit mental tingkat berat, terutama gangguan afektif serta kepribadian dalam merawat anak, sangat membutuhkan pemantauan oleh dokter.
Mengidentifikasi faktor risiko Filicide ini memang membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Pencegahannya
Mencegah Filicide sebenarnya akan sulit dilakukan karena penyebab pembunuhan dan hubungan antara pelaku beserta para korbannya sangatlah berbeda-beda.
Melalui beberapa manajemen kasus yang bekerja sama dan berkomunikasi dengan antar lembaga telah menyarankan bahwa langkah awal untuk mencegah Filiced adalah mengidentifikasi serta mencegah potensi pembunuhan pada anak-anak.
Seperti yang kita tahu anak-anak memang korban yang paling rentan untuk kasus pembunuhan, sehingga sebagai masyarakat harus memiliki kewajiban untuk memastikan mereka tetap terlindungi.
Oleh karena itu, Caitlin English merekomendasikan pihak Victorian Department of Health and Human Services (DHHS) untuk memperbarui frekuensi pemeriksaan kesehatan dan kesejahteraan pada layanan kesehatan ibu anak setidaknya dilakukan setahun sekali, selama dua tahun pertama setelah kelahiran anak.
Selain itu, ia juga menyarankan untuk memperbarui pedomannya dengan langkah-langkah menghubungi pihak ibu dan melakukan skrining depresi pasca-kelahiran, jika kondisi pribadi mereka berubah.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!
Sudah punya asuransi kesehatan dari perusahaan tempatmu bekerja? Ayo, manfaatkan layanannya dengan menghubungkan benefit asuransi milikmu ke aplikasi Good Doctor! Klik link ini, ya.