Share This Article
Selain demam berdarah dan malaria, ada satu gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh gigitan nyamuk, yaitu penyakit Japanese encephalitis. Meski namanya terdengar asing dan kurang familiar, penyakit ini sudah banyak terjadi di Indonesia.
Mengutip data Kementerian Kesehatan RI, angka kasus penyakit ini di Tanah Air biasanya melonjak pada musim hujan. Sebab, periode ini merupakan waktu terbaik nyamuk untuk berkembang.
Lalu, apa saja gejala dari penyakit ini? Serta, bagaimana langkah pencegahannya? Yuk, simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Apa itu penyakit Japanese encephalitis?
Japanese encephalitis merupakan infeksi virus pada otak yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Culex quinquefasciatus. Penyakit yang juga dikenal sebagai radang otak ini sangat rentan terjadi di negara-negara tropis, seperti Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik.
Virus pada penyakit ini ditemukan pada babi dan burung, lalu berpindah ke nyamuk lewat gigitannya. Yang perlu diketahui, Japanese encephalitis hanya bisa ditularkan dari nyamuk ke manusia, bukan dari orang ke orang.
Belum ada obat yang cukup efektif untuk membunuh virus ini. Penanganan biasanya menggunakan obat untuk meredakan gejala yang muncul, serta meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan infeksi.
Baca juga: Demam Berdarah: Kenali Gejala dan Cara Pencegahannya
Gejala penyakit Japanese encephalitis
Gejala dari penyakit ini umumnya terjadi dalam jangka waktu yang relatif singkat. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai tanda dari flu biasa. Padahal, jika tidak ditangani, peradangan di otak bisa bertambah buruk.
Mengutip Centers for Disease Control and Prevention (CDC), gejala dari penyakit Japanese encephalitis biasanya muncul pada lima hingga 15 hari setelah penularan pertama dari nyamuk. Gejala-gejala tersebut meliputi:
- Suhu badan meninggi
- Kaku otot pada leher
- Tubuh gemetar atau tremor
- Sulit untuk bicara
- Tubuh lemas
- Mati rasa pada bagian tubuh tertentu
- Mual dan muntah
- Sakit kepala tanpa sebab
Kondisi di atas perlu mendapat penanganan yang tepat. Jika tidak, gejalanya bisa memburuk, seperti:
- Kejang
- Disorientasi
- Pingsan
Karena penyakit ini menyerang otak, pemulihannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seorang penderita Japanese encephalitis bisa mengalami koma bahkan meninggal jika tidak ada tanda-tanda membaik.
Data penyakit japanese encephalitis
Organisasi kesehatan dunia WHO mengungkapkan, tiap tahunnya, ada sekitar 68 ribu kasus baru dari penyakit Japanese encephalitis. Sebagian besar adalah orang-orang yang tinggal atau bekerja di pedesaan, peternakan babi, sawah, dan kebun.
Anak-anak memiliki tingkat kerentanan tinggi. Dari data yang ada, 75 persen dari pengidap Japanese encephalitis berusia di bawah 15 tahun.
Penularan penyakit ini juga dipengaruhi oleh musim di suatu negara. Misalnya, migrasi burung pada pancaroba, musim panen petani, dan musim penghujan.
Penanganan penyakit Japanese encephalitis
Memeriksakan diri ke dokter sangat penting, karena tanda-tanda awal dari penyakit Japanese encephalitis sangat mirip dengan flu biasa. Meski merupakan radang otak, dokter tidak akan langsung memeriksa bagian tersebut, melainkan gejala-gejala yang muncul.
Dokter akan bertanya tentang riwayat perjalanan, misalnya negara mana saja yang pernah dikunjungi. Jika dugaan mengarah pada penyakit tersebut, kamu akan menjalani serangkaian pemeriksaan.
Prosedur yang paling umum dilakukan adalah menggunakan alat pemindai, seperti CT scan dan MRI. Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada infeksi virus di dalam tubuh, terutama pada bagian otak.
Untuk pengobatannya, dokter akan memberikan obat untuk meredakan gejalanya. Antibiotik tidak efektif untuk melawan penyakit ini, karena Japanese encephalitis disebabkan oleh virus, bukan bakteri.
Baca juga: Pahami Tentang Malaria: Penyebab, Gejala dan Pencegahannya
Kasus Japanese encephalitis di Asia
Penyakit Japanese encephalitis lebih sering terjadi di negara-negara tropis, seperti Cina, Thailand, Myanmar, Malaysia, Indonesia, Kamboja, Vietnam, India, Nepal, Laos, Filipina, dan Srilanka.
Meskipun memiliki nama ‘Japanese’, penyakit ini sangat jarang dijumpai di Jepang. Mengutip World Health Organization (WHO), pemberian nama ‘Japanese’ sendiri mengacu pada kasus pertama yang terjadi di Jepang pada 1871.
Pencegahan penyakit Japanese encephalitis
Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar 82 spesies dari nyamuk Culex. Sehingga, risiko penularannya relatif tinggi. Bicara soal pencegahan, cara terbaik untuk meminimalkan risiko penularan penyakit ini adalah dengan menghindari gigitan nyamuk tersebut.
Nyamuk C. quinquefasciatus lebih sering ditemukan di ladang, sawah, dan hutan. Meski, tidak menutup kemungkinan ada di dalam rumah. Hutan dan perkebunan adalah tempat terjadinya transmisi virus dari babi dan burung ke nyamuk.
Nyamuk yang telah membawa virus bisa masuk ke rumahmu. Sehingga, hal yang perlu kamu lakukan adalah:
- Menggunakan lotion anti nyamuk.
- Menyediakan tirai kasa di pintu dan jendela kamar agar nyamuk tak bisa masuk.
- Gunakan baju dan celana panjang saat tidur untuk meminimalkan gigitan.
Sedangkan jika ingin bepergian ke luar negeri, seperti negara-negara di atas, pastikan kamu telah melakukan vaksinasi terlebih dulu. Ini akan melindungi tubuh dari infeksi virus.
Nah, itulah ulasan lengkap tentang penyakit Japanese encephalitis yang perlu kamu tahu. Yuk, lakukan langkah pencegahan untuk minimalkan risiko terserang penyakit ini!
Konsultasikan masalah kesehatan Anda dan keluarga melalui Good Doctor dalam layanan 24/7. Mitra dokter kami siap memberi solusi. Yuk, download aplikasi Good Doctor di sini!