Share This Article
Perempuan kerap menjadi korban kekerasan pada sebuah hubungan. Kekerasan sendiri didefinisikan sebagai tindakan dan perampasan hak kebebasan yang bisa atau mungkin mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan, baik secara fisik, seksual, dan mental.
Lalu, mengapa perempuan menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan dalam sebuah hubungan? Yuk, simak ulasan lengkapnya berikut!
Perempuan rentan sebagai target kekerasan
Pada dasarnya, kekerasan bisa dialami dan dilakukan oleh siapa saja, tak terbatas usia, jenis kelamin, atau status sosial. Hanya saja, perempuan menjadi kelompok paling tinggi sebagai korban kekerasan.
Menurut World Health Organization (WHO), satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah menjadi korban kekerasan, baik secara fisik maupun seksual, yang dilakukan oleh pasangannya. Artinya, sekitar 30 persen perempuan pernah mengalami peristiwa tak menyenangkan itu.
Bahkan, di Inggris misalnya, berdasarkan data Crime Survey for England and Wales, 80 persen korban kekerasan yang dilakukan secara berulang adalah perempuan.
Sedangkan di Indonesia, menurut catatan Komnas Perempuan pada 2020, kekerasan terhadap istri (KTI) menempati urutan pertama yakni sebanyak 3.221 kasus (50 persen) dari seluruh total kasus kekerasan pada perempuan. Kemudian diikuti kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.309 kasus (20 persen).
Mengapa perempuan rentan jadi korban kekerasan?
Ada banyak faktor yang menjadi alasan mengapa perempuan kerap menjadi objek kekerasan. Salah satunya adalah karena dominasi gender. Menurut sebuah penelitian di SAGE Journals, dominasi laki-laki dalam sebuah hubungan kerap kali menjadi pemicu kekerasan.
Satu publikasi di Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika Serikat juga menyebutkan, adanya ketimpangan ‘power’ antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi pemicu kekerasan. Ini tak lepas dari stereotip yang beredar di tengah masyarakat bahwa laki-laki lebih kuat dibanding perempuan.
Selain gender power imbalance, ada beberapa faktor yang sering kali membuat perempuan menjadi korban kekerasan, yaitu:
- Berpenghasilan rendah: Perempuan dengan pendapatan rendah (dari laki-laki) berisiko 3,5 kali lebih besar mengalami kekerasan.
- Usia: Umur yang lebih muda cenderung menjadi sasaran kekerasan secara individual. Perempuan berusia 20 hingga 30 tahun ditemukan lebih sering menjadi korban kekerasan.
- Sedang hamil: Hampir satu dari tiga perempuan menerima perlakuan kekerasan saat sedang hamil.
Dampak kekerasan pada perempuan
Kekerasan yang dilakukan kepada perempuan bisa memberi dampak jangka pendek dan panjang, baik untuk fisik maupun psikis, yaitu:
Dampak fisik
Pada fisik, efek jangka pendek yang bisa terjadi dari kekerasan dapat berupa cedera ringan atau kondisi serius, seperti memar, luka, patah tulang, dan sebagainya. Jika kekerasan berkategori seksual, tentu kesehatan kewanitaan bisa ikut terganggu, misalnya perdarahan pada vagina.
Efek jangka panjangnya bisa berupa kehamilan yang tak diinginkan, infeksi menular seksual, hingga gangguan fisik seperti radang sendi, sakit kronis, masalah pencernaan, penyakit jantung, dan lain sebagainya.
Dampak psikis
Dampak pada kesehatan mental yang bisa dialami perempuan korban kekerasan dapat berupa ketidakstabilan emosi, misalnya mudah marah, kebingungan, takut, hingga mati rasa terhadap sesuatu.
Pada jangka panjang, hal itu bisa memicu munculnya kondisi yang lebih parah. Post-traumatic stress disorder (PTSD) misalnya, ditandai dengan sulit tidur, amarah meledak-ledak, gelisah terus-menerus, dan selalu tegang.
Gangguan kecemasan dan depresi juga sering terjadi. Semua kondisi tersebut tak boleh disepelekan. Sebab, menurut studi pada 2018, kesehatan mental yang terganggu bisa mendorong seseorang untuk melakukan tindakan merugikan, misalnya percobaan bunuh diri.
Melepaskan diri dari hubungan toxic
Saat pasanganmu sudah melakukan kekerasan, tak perlu ragu untuk mencari kebebasan dan terlepas dari jeratannya. Menurut penjelasan Katie Bailey, MA, LPC, konselor berlisensi asal Amerika Serikat, ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan, di antaranya:
- Akui dan terima kenyataan bahwa kamu sedang berada dalam toxic relationship.
- Rasakan emosimu dan jangan berusaha untuk menyembunyikan atau menyangkalnya.
- Prioritaskan kesejahteraan dan kesehatanmu.
- Tinggalkan pasanganmu. Jika ada rasa duka, itu adalah hal yang normal. Kamu juga boleh bersedih atas hubungan yang tidak seperti diinginkan.
- Bangun kehidupanmu sendiri, misalnya menyibukkan diri dengan pekerjaan, komunitas, atau acara-acara tertentu.
- Jalin sebuah persahabatan yang sehat secara emosional.
Baca juga: 6 Alasan Korban KDRT Memilih Diam & Memaafkan Pelaku
Pengaduan korban kekerasan perempuan
Jika kamu menjadi korban kekerasan, jangan ragu untuk melaporkannya. Komnas Perempuan siap menerima aduanmu secara daring, baik melalui email pengaduan@komnasperempuan.go.id maupun media sosial resmi di Facebook, Twitter, dan Instagram (melalui direct message).
Jelaskan kronologi kejadian secara lengkap. Pastikan menyertakan bukti kekerasan, misalnya foto luka, untuk mempermudah proses penyidikan.
Laporan yang masuk akan diproses 1×24 jam atau lebih cepat, tergantung pada banyaknya aduan yang masuk. Pengaduan akan diteruskan ke Forum Pengada Layanan sesuai domisili korban untuk pendampingan.
Nah, itulah ulasan tentang kekerasan terhadap perempuan dan cara untuk melapor jika kamu menjadi korban. Selalu jaga diri di mana pun kamu berada, ya!
Konsultasikan masalah kesehatan kamu dan keluarga melalui Good Doctor dalam layanan 24/7. Mitra dokter kami siap memberi solusi. Yuk, download aplikasi Good Doctor di sini!
Sudah punya asuransi kesehatan dari perusahaan tempatmu bekerja? Ayo, manfaatkan layanannya dengan menghubungkan benefit asuransi milikmu ke aplikasi Good Doctor! Klik link ini, ya.