Share This Article
World Health Organization (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah mencantumkan gejala kehilangan kemampuan penciuman atau anosmia adalah salah satu gejala COVID-19 yang patut diwaspadai.
Hal ini ditambahkan dengan gejala paling umum COVID-19 yang lain, yaitu demam tinggi lebih dari 38 derajat Celcius, batuk kering dan juga sesak napas.
Selain itu, gejala lain juga bisa dialami, misalnya seperti sakit badan, kelelahan, sakit kepala, diare dan juga perubahan warna jari tangan atau kaki.
Seberapa bahayakah gejala anosmia pada tubuh? Bagaimana anosmia menjadi salah satu gejala COVID-19? Yuk, simak ulasan di bawah ini!
Anosmia pada COVID-19
Kedua kondisi ini disebut-sebut saling berkaitan karena pemberitaan bahwa adanya sejumlah pasien positif COVID-19 yang mengalami anosmia sebagai gejalanya.
Seperti dikutip dari situs Covid19.go.id, anosmia pada COVID ditemukan pada sekitar 30 persen pasien yang terinfeksi virus SARS-Cov-2 di Korea Selatan, terutama yang mengalami gejala ringan.
Selain itu anosmia juga disinggung menjadi salah satu gejala COVID-19 pada sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Nature Medicine pada 11 Mei 2020.
Namun, tak berarti semua yang mengalami anosmia pasti terkait dengan COVID-19. Faktanya, selain anosmia pada COVID, dapat juga terjadi karena disebabkan gangguan kesehatan lainnya. Simak lebih lanjut informasinya di bawah!
Anosmia adalah kondisi yang memengaruhi kemampuan mencium
Anosmia adalah kehilangan kemampuan indra penciuman yang umumnya terjadi saat lapisan hidung mengalami iritasi. Kondisi ini bisa berlangsung sementara, namun dapat juga terjadi secara permanen pada seseorang.
Kemampuan mencium atau membaui sendiri adalah proses yang kompleks. Proses yang melibatkan hidung dan otak. Ketika udara masuk ke hidung, molekul bau mengikat reseptor saraf penciuman.
Saraf ini berada di lapisan yang disebut epitel olfaktorius. Yang kemudian baru diproses menjadi sebuah aroma yang dapat dikenali oleh seseorang.
Anosmia juga memengaruhi kemampuan merasakan makanan
Anosmia juga dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam merasakan makanan. Beberapa orang yang mengalami anosmia dapat kehilangan selera makan. Ini menyebabkan penurunan berat badan dan dalam kondisi yang cukup parah dapat menyebabkan malnutrisi.
Anosmia juga dapat memicu terjadinya depresi. Karena mengganggu kemampuan seseorang untuk membaui dan merasakan makanan yang lezat.
Anosmia adalah gangguan yang disebabkan oleh berbagai kondisi
Seperti yang sudah disebutkan bahwa kondisi ini biasanya terjadi saat lapisan hidung mengalami iritasi. Ada banyak hal yang bisa menyebabkan iritasi tersebut. Salah satunya yakni penyumbatan pada hidung.
Selain itu, anosmia adalah kondisi yang juga bisa terjadi karena adanya masalah sistem yang mengirimkan sinyal dari hidung ke otak. Beberapa kondisi lain yang menyebabkan munculnya gejala ini adalah:
- Infeksi sinus
- Merokok
- Influenza
- Alergi hidung yang menyebabkan peradangan
- Penyumbatan kronis yang tidak berhubungan dengan alergi
Dalam banyak kasus, anosmia akan hilang dengan sendirinya dan hanya bersifat sementara.
Anosmia adalah kondisi yang juga bisa disebabkan oleh kerusakan saraf atau otak
Di luar penyebab yang sudah disebutkan di atas, anosmia juga bisa terjadi karena kasus tertentu, seperti adanya polip hidung, tumor dan juga kelainan tulang di dalam hidung atau yang disebut septum hidung.
Bisa juga disebabkan oleh terjadinya kerusakan otak atau saraf yang berpengaruh pada indra penciuman. Ada banyak kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan ini, seperti:
- Usia tua
- Alzheimer
- Tumor otak
- Parkinson
- Epilepsi
- Skizofrenia
- Diabetes
- Cedera otak
- Riwayat terapi radiasi
- Stroke
Ada juga yang mengalami anosmia sejak lahir karena masalah genetika, yang umumnya disebut sebagai anosmia bawaan. Namun kasus ini jarang sekali terjadi.
Pemeriksaan dan diagnosis anosmia
Dokter akan melakukan pemeriksaan awal untuk memastikan apakah kasus yang dialami pasien merupakan anosmia murni atau terkait penyakit lain.
Jika pasien juga mengalami gejala umum COVID-19 lainnya seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan dan sesak, maka mungkin saja pasien terpapar COVID-19.
Namun jika tidak ada kecurigaan COVID-19, dokter akan mencari tahu penyebab terjadinya anosmia. Dokter akan menanyakan riwayat kesehatan pasien dan menanyakan apakah kemampuan penciuman hilang menyeluruh atau hanya pada beberapa bau saja.
Setelahnya, dokter akan meminta pasien melakukan pemeriksaan fisik, bisa berupa CT Scan atau MRI atau juga melakukan rontgen. Jika diperlukan, mungkin juga akan dilakukan rinoskopi.
Komplikasi akibat anosmia
Orang yang hidup dengan anosmia mungkin akan mengalami penurunan kualitas hidup. Termasuk memengaruhi kehidupan seksual seseorang, seperti:
- Karena pengidap anosmia tidak bisa mencium pasangannya yang merupakan bagian dari pengalaman sensual.
- Selain itu, juga dapat mengganggu waktu makan. Seperti yang sudah disebutkan jika anosmia dapat membuat seseorang kehilangan selera makan.
- Pada pasien alzheimer dan parkinson, anosmia yang menyebabkan kehilangan nafsu makan dapat berakhir dengan malnutrisi. Bahkan yang lebih parah, dapat meningkatkan risiko kematian.
- Beberapa kondisi juga dapat menempatkan pengidap anosmia dalam kondisi yang berbahaya. Misalnya adanya kebocoran gas, yang tak dapat dikenali oleh pengidap anosmia.
Pengobatan dan perawatan
Pengobatan anosmia tergantung dari penyebabnya. Dokter akan melakukan sejumlah pemeriksaan sebelum memberikan rekomendasi pengobatan anosmia.
Jika ternyata anosmia disebabkan oleh iritasi pada lapisan hidung, dokter mungkin akan memberikan beberapa pilihan pengobatan seperti:
- Memberikan resep dekongestan atau antihistamin
- Menyarankan melakukan semprotan steroid pada hidung
- Mengonsumsi antibiotik jika disebabkan infeksi bakteri
- Mengurangi paparan iritasi jika disebabkan oleh alergi
- Anjuran berhenti merokok
Beberapa pengobatan anosmia lainnya berdasarkan penyebabnya
- Jika disebabkan oleh kelainan genetik, selain obat rekomendasi dokter, mungkin juga dilakukan pengobatan pilihan seperti terapi sel dan genetik.
- Anosmia yang terjadi karena infeksi, akan disarankan pengobatan menggunakan suplemen yang disebut zinc gluconate atau dengan terapi penciuman.
- Jika terjadi akibat trauma atau cedera kepala, dapat dilakukan pengobatan pelatihan penciuman.
- Apabila anosmia karena gangguan sinonasal, seperti polip, atau septum deviasi, dapat dilakukan pengobatan dengan cara pembedahan atau menggunakan obat kortikosteroid, tergantung dari rekomendasi dokter dan kondisi pasien.
- Anosmia yang terjadi karena rinitis alergi dapat diatasi dengan steroid intranasal yang mungkin dikombinasikan dengan antihistamin intranasal.
Sementara itu, tidak menutup kemungkinan untuk anosmia sembuh dengan sendirinya. Menurut Medical News Today, beberapa kasus anosmia dapat sembuh spontan tanpa pengobatan.
Sembuh spontan ini terjadi sekitar 32 hingga 66 persen yang juga mengalami infeksi saluran pernapasan bagian atas.
Pengobatan anosmia pada COVID
Jika orang dengan COVID-19 mengalami anosmia, tentu saja dibutuhkan waktu untuk penyembuhan COVID terlebih dahulu.
Setelah sembuh dari COVID-19, beberapa orang mungkin dapat langsung mencium dengan normal. Tetapi ada juga yang masih mengalami anosmia meski sudah sembuh dari COVID-19.
Sayangnya hingga kini belum ada pengobatan khusus untuk anosmia yang disebabkan oleh COVID-19. Meski begitu, pelatihan penciuman adalah salah satu yang bisa dilakukan untuk membantu mengembalikan kemampuan indra penciuman pascacovid.
Anosmia adalah kondisi yang dapat diobati dengan pelatihan penciuman
Pelatihan penciuman biasanya dilakukan dengan menggunakan empat bau-bauan yang berbeda. Misalnya bau bunga, buah, aromatik dan resin seperti minyak kayu putih.
Pasien akan diminta untuk menghirup masing-masing aroma selama 15 hingga 20 detik. Kemudian dengan menghirup pasien akan memikirkan dan mengingat seperti apa aroma tersebut. Mengingat visual dari mana aroma itu berasal. Misal aroma bunga mawar.
Visual dan aroma mawar akan menstimulasi otak untuk melatih hidung dan mengembalikan kemampuannya untuk mengenali bau-bauan. Latihan ini diulangi dua hingga tiga kali sehari untuk sementara waktu.
Pasien bisa terus meningkatkan indra penciuman mereka setelah tiga bulan, enam bulan, dan bahkan hingga satu tahun. Dalam beberapa situasi, semprotan steroid mungkin juga digunakan untuk menyebabkan perbaikan yang lebih baik.
Tapi penggunaan steroid bukanlah pengobatan utama yang dapat diandalkan. Karena sebuah penelitian mengungkapkan bahwa semprotan steroid saja tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dari pelatihan penciuman.
Pengobatan pada anosmia jangka panjang
Pada beberapa kasus yang bertahan lama, masih terus dilakukan penelitian untuk mengatasinya.
Beberapa di antaranya adalah penelitian pengobatan dengan vitamin A, serta dilakukan pengembangan dukungan psikologis dan nutrisi bagi mereka yang mengalami anosmia jangka panjang.
Berapa lama anosmia sembuh?
Setelah melakukan perawatan, berapa lama anosmia sembuh? Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan bagi orang-orang yang mengalaminya. Dan apakah penyebab kondisi ini akan memengaruhi berapa lama anosmia sembuh?
Tidak ada jawaban pasti mengenai berapa lama anosmia sembuh. Untuk anosmia yang disebabkan non-COVID, bisa sembuh dalam beberapa hari, beberapa minggu, bahkan berbulan-bulan.
Sementara kesembuhan anosmia pada COVID juga tidak bisa dipastikan. Ada beberapa pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari COVID-19 tapi masih mengalami anosmia.
Tapi banyak yang akhirnya bisa sembuh dari anosmia. Sebuah studi menunjukkan bahwa hanya 15 persen pasien COVID-19 yang mengalami anosmia selama lebih dari 60 hari.
Serta kurang dari 5 persen yang mengalaminya lebih dari enam bulan. Studi ini melibatkan 1363 peserta anosmia akibat COVID-19.
Anosmia adalah gangguan kesehatan yang bisa berlangsung selamanya
Namun perlu diketahui juga ada anosmia yang tidak bisa diobati alias permanen. Biasanya disebabkan oleh faktor usia. Pada pasien lanjut usia ini, beberapa pelatihan dilakukan untuk mencegah kondisi berbahaya.
Misalnya tetap menjaga keamanan dengan memasang detektor kebakaran dan alarm asap di rumah. Alih-alih tak bisa mengandalkan penciuman untuk mengetahui adanya kebakaran, alarm dapat menjadi petunjuk.
Pada orang yang mengalami anosmia permanen, perlu untuk lebih hati-hati dengan makanan yang sudah tidak layak makan. Orang dengan penciuman normal dapat mengetahui makanan yang sudah basi dari baunya.
Pada orang dengan anosmia, hanya terbatas dari melihat bentuk makanan. Jika merasa tidak yakin makanan tersebut masih layak makan atau tidak, sebaiknya jangan dikonsumsi untuk mencegah keracunan atau masalah pencernaan lainnya.
Demikian penjelasan anosmia yang merupakan salah satu gejala dari penyakit COVID-19. Jangan panik jika mengalaminya, mungkin kamu hanya mengalami anosmia biasa yang tidak termasuk dalam kategori penyakit berbahaya.
Namun jika kamu mengalami anosmia disertai gejala umum COVID-19 lainnya seperti demam atau sesak napas, ada baiknya kamu segera memeriksakan diri ke dokter dan melakukan skrining awal.
Pantau perkembangan situasi pandemi di Indonesia melalui situs resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Konsultasi lengkap seputar COVID-19 di Klinik Lawan COVID-19 dengan mitra dokter kami. Yuk, klik link ini untuk download aplikasi Good Doctor!